KOMPAS, Sabtu, 21-08-1999. Halaman: 33
BAHAN Bakar Minyak yang digunakan pada kendaraan bermotor, amat berperan dalam mengotori udara. Apalagi, bila setelan mesin kurang sempurna. Mengapa tidak mencoba bahan bakar gas?
Polusi yang mencemari udara kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, dan sebagainya, selain disebabkan oleh setelan mesin yang kurang pas, juga disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM). Apalagi di Indonesia, belum ada ketentuan yang menetapkan agar seluruh kendaraan bermotor menggunakan BBM tidak mengandung timah hitam (unleaded fuel), dan oktannya tidak seragam.
Bahan bakar Premix misalnya, sering disebut-sebut memiliki oktan tinggi dan kandungan timah hitamnya rendah. Namun kenyataannya, banyak orang mengeluh, meski menggunakan Premix, mesin mobil masih mengelitik, tidak memberi kepuasan pemakainya. Sedangkan premium yang oktannya lebih rendah dari Premix, dulu sering dikeluhkan karena dicampur minyak tanah.
Keadaan itu semua, selain membuat boros pemakaian BBM, juga mempercepat polusi udara. Padahal, bila kita tetap boros BBM, diperkirakan selepas tahun 2010, kemungkinan besar Indonesia harus impor BBM. Ancaman ini bakal terjadi bila pola konsumsi BBM kita terus menerus boros. Pemborosan juga bisa dikaji dari besarnya konsumsi energi per unit Produk Domestik Kotor (GDP).
Atas dasar keadaan ini, kepada kita sering disarankan untuk menggunakan energi alternatif. Satu-satunya energi pengganti BBM yang sering disebut-sebut adalah penggunaan bahan bakar gas (BBG). Bahkan, selama ini disebut-sebut, cadangan gas bumi kita lebih besar dari cadangan minyak. Bahkan, begitu melimpahnya BBG, sebagian dibakar begitu saja, tidak termanfaatkan dengan baik.
Cadangan gas alam ini dihasilkan dari ladang-ladang yang ada di Jawa, Sulawesi, dan Irian. Di seluruh Indonesia, diperkirakan terdapat 8,4 trilyun kaki kubik cadangan gas alam, tersebar di Jawa, 5,2 trilyun, Sumatera 1,5 trilyun, dan sisanya di Kalimantan.
Keuntungan lain dari gas alam, selain murah harganya (hanya Rp 450 per liter. Bandingkan dengan Solar-Rp 550; Premium-Rp 1.000; Premix-Rp 1.400), juga tidak menimbulkan polusi bila digunakan untuk dunia otomotif maupun rumah tangga, dan tidak merusak lingkungan.
Perbandingan polusi yang dihasilkan bensin, solar, Liquified Petroleum Gas (LPG) dan BBG bisa dilihat pada tabel. Selama ini BBG dikenal tidak menyisakan debu, sedangkan bensin atau solar meninggalkan residu. Ini berarti, BBG mampu membuat pembakaran sempurna, benturan mesin rendah, daya tahan oli bisa tiga kali lipat karena mesin tidak harus bekerja ekstra keras, ring piston
awet, tidak menimbulkan knocking (ngelithik), busi tidak cepat kotor,
dan umur mesin bisa lebih awet. Salah satu kendala pemasyarakatan pemakaian BBG adalah, keraguan akan sistem keamanannya, takut meledak, lebih-lebih bila terjadi kebocoran. Padahal, BBG yang dipakai untuk kendaraan, sama dengan yang digunakan untuk keperluan dapur, dan berbeda dengan LPG. BBG berasal dari gas alam yang keluar dari perut bumi, setelah melalui proses "pemilahan" dari air, mineral dan sebagainya, lalu diambil gas methan-nya.
Hasil inilah yang digunakan untuk bahan bakar kendaraan, dapur dan industri. Dengan demikian, bila terjadi kebocoran, gas akan hilang di udara terbuka. Sedangkan LPG, merupakan hasil penyulingan minyak, sehingga tingkat kepekaannya terhadap api makin besar.
Selain itu, jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) belum begitu banyak, hanya ada di beberapa tempat, sehingga agak menyulitkan pemakainya. Sejauh ini baru ada 26 SPBG, Jakarta (18), Surabaya (4), Medan (2), dan Palembang (2). Namun, dalam waktu dekat Pertamina sudah merancang untuk menambah sejumlah SPBG dan mengurangi SPBU. Paling tidak akan beroperasi tiga SPBG baru yaitu Cirebon (2) dan Cikampek (1).
Tabung penyimpan gas juga masih menjadi persoalan. Bila tangki yang bila diisi cairan mampu menampung 75 liter, maka tabung gas cuma bisa menyimpan 200 bar atau setara dengan 17 liter premium. Bila dipasang pada Kijang, lalu dijalankan dalam kota dan AC hidup terus, ia bisa mencapai 120 km. Bila "disetujui", salah satu jok belakang bisa dikorbankan untuk menambah lebih dari satu tabung BBG.
Bagaimana gas bisa ditampung di mobil? Prinsip kerja yang digunakan adalah menggunakan perubahan tekanan. BBG yang ada di tangki induk di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), disalurkan lewat kompresor, diterima tabung-tabung bertekanan tinggi antara 200-300 bar (2.900-4350 psig), lalu disalurkan lewat dispenser setelah tekanan diturunkan menjadi 200 bar. Dengan cara ini, pengisian BBG ke mobil di SPBG hanya memerlukan waktu 3-6 menit.
Untuk bisa menggunakan BBG, sebuah mobil memerlukan alat tambahan (conversion kit), dan tabung. Untuk memasang alat ini berikut tabung dan "saklar" otomatis, diperlukan biaya 750 dollar AS. Bila satu dollar AS = Rp 8.000, maka diperlukan dana sekitar Rp 6 juta. Biaya itu termasuk garansi enam bulan. Pemasangan untuk Kijang di PT Sugiron Citra Teknologi, hanya diperlukan dua jam.
Kini, kita bisa membuat kalkulasi sendiri. Bila setiap bulan mobil menghabis-kan 200 liter premium, atau sama dengan Rp 200.000, maka bila menggunakan BBG hanya keluar biaya Rp 90.000. Selain keuntungan ekonomis, mesin yang menggunakan BBG tentu lebih awet, karena tempat penyimpanan gas tertutup rapat, tidak memungkinkan masuknya air atau debu.
Sekali lagi, persoalan belum populernya BBG lebih karena kurang dikenalkan ke masyarakat. Masyarakat sendiri masih mengira, BBG tidak aman. Padahal, kenyataannya tidak demikian. BBG tidak sebahaya yang dibayangkan. Negeri maju seperti AS, sudah lama menggunakan BBG, dan belum pernah terdengar ada kecelakaan karena tabung BBG meledak. (Martin Teiseran, ahli mekanik/ Tonny D Widiastono)
BAHAN Bakar Minyak yang digunakan pada kendaraan bermotor, amat berperan dalam mengotori udara. Apalagi, bila setelan mesin kurang sempurna. Mengapa tidak mencoba bahan bakar gas?
Polusi yang mencemari udara kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, dan sebagainya, selain disebabkan oleh setelan mesin yang kurang pas, juga disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM). Apalagi di Indonesia, belum ada ketentuan yang menetapkan agar seluruh kendaraan bermotor menggunakan BBM tidak mengandung timah hitam (unleaded fuel), dan oktannya tidak seragam.
Bahan bakar Premix misalnya, sering disebut-sebut memiliki oktan tinggi dan kandungan timah hitamnya rendah. Namun kenyataannya, banyak orang mengeluh, meski menggunakan Premix, mesin mobil masih mengelitik, tidak memberi kepuasan pemakainya. Sedangkan premium yang oktannya lebih rendah dari Premix, dulu sering dikeluhkan karena dicampur minyak tanah.
Keadaan itu semua, selain membuat boros pemakaian BBM, juga mempercepat polusi udara. Padahal, bila kita tetap boros BBM, diperkirakan selepas tahun 2010, kemungkinan besar Indonesia harus impor BBM. Ancaman ini bakal terjadi bila pola konsumsi BBM kita terus menerus boros. Pemborosan juga bisa dikaji dari besarnya konsumsi energi per unit Produk Domestik Kotor (GDP).
Atas dasar keadaan ini, kepada kita sering disarankan untuk menggunakan energi alternatif. Satu-satunya energi pengganti BBM yang sering disebut-sebut adalah penggunaan bahan bakar gas (BBG). Bahkan, selama ini disebut-sebut, cadangan gas bumi kita lebih besar dari cadangan minyak. Bahkan, begitu melimpahnya BBG, sebagian dibakar begitu saja, tidak termanfaatkan dengan baik.
Cadangan gas alam ini dihasilkan dari ladang-ladang yang ada di Jawa, Sulawesi, dan Irian. Di seluruh Indonesia, diperkirakan terdapat 8,4 trilyun kaki kubik cadangan gas alam, tersebar di Jawa, 5,2 trilyun, Sumatera 1,5 trilyun, dan sisanya di Kalimantan.
Keuntungan lain dari gas alam, selain murah harganya (hanya Rp 450 per liter. Bandingkan dengan Solar-Rp 550; Premium-Rp 1.000; Premix-Rp 1.400), juga tidak menimbulkan polusi bila digunakan untuk dunia otomotif maupun rumah tangga, dan tidak merusak lingkungan.
Perbandingan polusi yang dihasilkan bensin, solar, Liquified Petroleum Gas (LPG) dan BBG bisa dilihat pada tabel. Selama ini BBG dikenal tidak menyisakan debu, sedangkan bensin atau solar meninggalkan residu. Ini berarti, BBG mampu membuat pembakaran sempurna, benturan mesin rendah, daya tahan oli bisa tiga kali lipat karena mesin tidak harus bekerja ekstra keras, ring piston
awet, tidak menimbulkan knocking (ngelithik), busi tidak cepat kotor,
dan umur mesin bisa lebih awet. Salah satu kendala pemasyarakatan pemakaian BBG adalah, keraguan akan sistem keamanannya, takut meledak, lebih-lebih bila terjadi kebocoran. Padahal, BBG yang dipakai untuk kendaraan, sama dengan yang digunakan untuk keperluan dapur, dan berbeda dengan LPG. BBG berasal dari gas alam yang keluar dari perut bumi, setelah melalui proses "pemilahan" dari air, mineral dan sebagainya, lalu diambil gas methan-nya.
Hasil inilah yang digunakan untuk bahan bakar kendaraan, dapur dan industri. Dengan demikian, bila terjadi kebocoran, gas akan hilang di udara terbuka. Sedangkan LPG, merupakan hasil penyulingan minyak, sehingga tingkat kepekaannya terhadap api makin besar.
Selain itu, jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) belum begitu banyak, hanya ada di beberapa tempat, sehingga agak menyulitkan pemakainya. Sejauh ini baru ada 26 SPBG, Jakarta (18), Surabaya (4), Medan (2), dan Palembang (2). Namun, dalam waktu dekat Pertamina sudah merancang untuk menambah sejumlah SPBG dan mengurangi SPBU. Paling tidak akan beroperasi tiga SPBG baru yaitu Cirebon (2) dan Cikampek (1).
Tabung penyimpan gas juga masih menjadi persoalan. Bila tangki yang bila diisi cairan mampu menampung 75 liter, maka tabung gas cuma bisa menyimpan 200 bar atau setara dengan 17 liter premium. Bila dipasang pada Kijang, lalu dijalankan dalam kota dan AC hidup terus, ia bisa mencapai 120 km. Bila "disetujui", salah satu jok belakang bisa dikorbankan untuk menambah lebih dari satu tabung BBG.
Bagaimana gas bisa ditampung di mobil? Prinsip kerja yang digunakan adalah menggunakan perubahan tekanan. BBG yang ada di tangki induk di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), disalurkan lewat kompresor, diterima tabung-tabung bertekanan tinggi antara 200-300 bar (2.900-4350 psig), lalu disalurkan lewat dispenser setelah tekanan diturunkan menjadi 200 bar. Dengan cara ini, pengisian BBG ke mobil di SPBG hanya memerlukan waktu 3-6 menit.
Untuk bisa menggunakan BBG, sebuah mobil memerlukan alat tambahan (conversion kit), dan tabung. Untuk memasang alat ini berikut tabung dan "saklar" otomatis, diperlukan biaya 750 dollar AS. Bila satu dollar AS = Rp 8.000, maka diperlukan dana sekitar Rp 6 juta. Biaya itu termasuk garansi enam bulan. Pemasangan untuk Kijang di PT Sugiron Citra Teknologi, hanya diperlukan dua jam.
Kini, kita bisa membuat kalkulasi sendiri. Bila setiap bulan mobil menghabis-kan 200 liter premium, atau sama dengan Rp 200.000, maka bila menggunakan BBG hanya keluar biaya Rp 90.000. Selain keuntungan ekonomis, mesin yang menggunakan BBG tentu lebih awet, karena tempat penyimpanan gas tertutup rapat, tidak memungkinkan masuknya air atau debu.
Sekali lagi, persoalan belum populernya BBG lebih karena kurang dikenalkan ke masyarakat. Masyarakat sendiri masih mengira, BBG tidak aman. Padahal, kenyataannya tidak demikian. BBG tidak sebahaya yang dibayangkan. Negeri maju seperti AS, sudah lama menggunakan BBG, dan belum pernah terdengar ada kecelakaan karena tabung BBG meledak. (Martin Teiseran, ahli mekanik/ Tonny D Widiastono)
2 komentar:
bagaimana dengan POWER yang dihasilkan BBG? apakah sama dengan menggunakan PREMIUM? ada ga tabel perbandingan powernya?
Tabung penyimpan gas juga masih menjadi persoalan. Bila tangki yang bila diisi cairan mampu menampung 75 liter, maka tabung gas cuma bisa menyimpan 200 bar atau setara dengan 17 liter premium. Bila dipasang pada Kijang, lalu dijalankan dalam kota dan AC hidup terus, ia bisa mencapai 120 km. Bila "disetujui", salah satu jok belakang bisa dikorbankan untuk menambah lebih dari satu tabung BBG.
Kalau Powernya lebih bagus. Kalori yang dihasilkan lebih besar dari Premium. Pembakarannya bagus, mesin awet dan bertenaga.
Posting Komentar